Objek Praperadilan berdasarkan KUHAP dan putusan Mahkamah Konstitusi

Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan dan/atau penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, dan permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi.

Ketentuan praperadilan didalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diatur dalam Pasal 1 angka 10, Pasal 77 s/d Pasal 83, Pasal 95 ayat (2) dan ayat (5), Pasal 97 ayat (3), dan Pasal 124.

Pasal 77 KUHAP mengatur Obyek prepreadilan yang hanya sebatas penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, tetapi seiring perkembangan hukum Obyek (ruang lingkup) praperadilan mengalami Perluasan terutama dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

1. Kewenangan Praperadilan Penetapan Tersangka, penggeledahan dan penyitaan.

(Berdasarkan Putusan MK Nomor : 21/PUU-XII/2014)

Kewenangan praperadilan dalam Pasal 77 huruf a KUHAP hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan, maka dengan adanya Putusan 21/PUU-XII/2014, Mahkamah Konstitusi (MK) memperluas ranah praperadilan termasuk sah atau tidaknya penetapan tersangka, penyitaan, dan penggeledahan.

Dalam Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, diputuskan bahwa ketentuan Pasal 77 huruf a KUHAP tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.

Pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam membuat putusan ini berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, sehingga harus menjungung tinggi "asas due process of law” guna menghargai Hak Asasi Manusia (HAM), serta pertimbangan bahwa penetapan tersangka merupakan proses penyidikan yang merampas hak asasi manusia (HAM) yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan.

Selain itu, dalam putusan perkara nomor 21/PUU-XII/2014 Mahkamah menyatakan frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” yang tertuang dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP.

Sebelumnya Praktik praperadilan terkait penetapan tersangka, dapat ditemukan pada :

  • Putusan Nomor : 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel, dengan pertimbangan hukumnya menghubungkan sah atau tidaknya penetapan tersangka dengan penahanan sebagai upaya paksa kemudian ditafsirkan makna alat bukti yang cukup dalam ketentuan Pasal 21 ayat (1) KUHAP terhadap ketentuan Pasal 184 ayat (1) sehingga penetapan tersangka termasuk objek praperadilan namun mengenai penghentian penyidikan sebagai bagian dari penetapan tersangka dianggap bukan materi praperadilan.
  • Putusan Nomor: 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel dengan amar putusan menyatakan Surat Perintah Penyidikan yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka oleh Termohon adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya Penetapan aquo tidak mempunyai kekuatan mengikat.

2. Membatasi Ruang Lingkup Hukum Materil Praperadilan.

(Berdasarkan Putusan MK Nomor : 109/PUU-XIII/2015)

Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor : 109/PUU-XIII/2015 menafsirkan makna penyidik independen Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dijadikan sebagai alasan untuk mengajukan permohonan praperadilan tidak sahnya penetapan tersangka.

Mahkamah Konstitusi (MK) mempertimbangkan ketika terdapat perbedaan perihal kedudukan penyidik antara KUHAP dengan Undang Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka dalam menjalankan tugasnya KPK tetap terikat pada Undang-udanng Nomor 30 tahun 2002, serta dapat mengesampingkan KUHAP sepanjang hal tersebut secara khusus diatur dalam Undang-udanng Nomor 30 tahun 2002, sejalan dengan prinsip lex specialis derogat legi generalis.

Selanjutnya, MK berpendapat penyidik KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-udanng Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak harus hanya berasal dari institusi Kepolisian sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP, dan KPK memiliki kewenangan untuk mengangkat sendiri penyidiknya.

3. Gugurnya Permohonan Praperadilan.

(Berdasarkan Putusan MK Nomor : 102/PUU-XIII/2015)

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang frasa “suatu perkara sudah mulai diperiksa” tidak dimaknai “permintaan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama terdakwa/pemohon praperadilan”.

Dalam praperadilan pengertian “perkara sudah mulai diperiksa” adalah pada saat pokok perkara disidangkan. Putusan ini menyelesaian perbedaan tasir para hakim pada saat menggugurkan permohonan praperadilan, mengingat sebelumnya terdapat putusan praperadilan yang menggugurkan permohonan setelah berkas dikirim sebagaimana Putusan Nomor 02/Pid.Pra/2015/PN.Tdn dengan alasan bahwa frasa “sudah mulai diperiksa” tidak diatur secara gramatikal (sesuai tata bahasa) oleh KUHAP sehingga kualifikasi “sudah mulai diperiksa” ditafsirkan secara sistematis terhadap ketentuan BAB XVI “Pemeriksaan Di Sidang Pengadilan” Bagian Ketiga “Acara Pemeriksaan Biasa” pada Pasal 152 KUHAP yang menjelaskan “Dalam hal pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dan berpendapat bahwa perkara itu termasuk wewenangnya, ketua pengadilan menunjuk hakim yang akan menyidangkan perkara dan hakim yang ditunjuk itu menetapkan hari sidang”, sehingga dipandang proses penunjukan hakim dan proses penetapan hari sidang yang dilakukan oleh hakim melalui proses pemeriksaan berkas perkara terlebih dahulu.

4. Penyerahan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).

(Berdasarkan Putusan Nomor : 130/PUU-XIII/2015)

Putusan tersebut berawal dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI FHUI) yang melakukan permohonan uji materiil terhadap Pasal 14 huruf b, dan i, Pasal 109 ayat (1), Pasal 138 ayat (1) dan (2), serta Pasal 139 KUHAP. Hingga Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan untuk sebagian, menyatakan Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang frasa “penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum” tidak dimaknai "penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) kepada penuntut umum, korban/pelapor, dan terlapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan".

Dengan demikian SPDP tidak hanya sebagai bentuk kelengkapan administrasi tetapi sebagai implementasi prinsip check and balance antara penyidik dengan penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor. Dalam dasar pertimbangan MK menjelaskan bahwa terhadap terlapor yang mendapatkan SPDP dapat mempersiapkan bahan-bahan pembelaan dan menunjuk penasihat hukum untuk mendampinginya, sementara bagi korban/pelapor dapat dijadikan momentum guna mempersiapkan keterangan atau bukti yang diperlukan dalam pengembangan penyidikan.

Putusan ini memberikan ruang bagi tersangka untuk melakukan praperadilan apabila pada saat berstatus sebagai terlapor belum menerima SPDP atau lewatnya waktu 7 (tujuh) hari penyerahan SPDP kepada terlapor. Sebagai acuannya adanya prinsip due process of law yang harus dipenuhi.

Penolakan terhadap alasan praperadilan karena telat mengirim SPDP sesuai dengan Putusan MK dapat diketahui melalui Putusan Nomor : 71/Pid.Pra/2017/PN JKT.SEL dengan alasan “apabila tidak didalilkan ke dalam permohonan berarti pemohon menganggap tentang surat pemberitahuan dimulainya penyidikan bukan perkara yang substansial sehingga alasan tersebut ditolak”, putusan ini merujuk pada formulasi permohonan praperadilan yang tidak memuat keberatan atas keterlambatan penyerahan SPDP melainkan diajukan pada kesimpulan.

Komentar