Masih adanya putusan pengadilan anak, yang memberikan pidana penjara terhadap anak berhadapan hukum (ABH), dari pada sebuah tindakan yang mengedepankan hak anak, sebenarnya tidak sesuai dengan filosofi dari pemidanaan dalam hukum pidana anak. Penjatuhan pidana secara tidak tepat dapat mengabaikan pengaturan perlindungan, karena pemidanaan anak seharusnya adalah jalan keluar terakhir (ultimum remedium / the last resort principle) dan menjatuhkan hukuman untuk waktu singkat.
Dalam hukum mengenal istilah “ultimum remidium” yang mempunyai makna bahwa pemidanaan / sanksi pidana merupakan langkah terakir manakala sanksi-sanksi yang lain sudah tidak berdaya, sangsi pamungkas (terakhir). Bahwa dalam sanksi pidana suatu undang-undang sebagai sanksi terakhir, setelah sanksi perdata, maupun sanksi administratif.1
Telah berlaku Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tetang Sistem Peradilan Pidana Anak, dalam undang undang ini pemidanaan terhadap Anak Nakal mempunyai konsep Keadilan Restoratif / restorative justice yang menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korban.
Peradilan pidana yang sebelumnya berfokus pada pemidanaan (menjatuhkan hukuman), sedangkan pada undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak merubah sebagai proses mediasi, dan dialog untuk membentuk kesepakatan yang seimbang terhadap keadilan korban dan/atau pelaku. Yang sesuai dengan Prisip Umum Perlindungan Anak yang sebagai dasar untuk memberikan perlindungan terhadap anak diantaranya :
- Prinsip Nondiskriminasi.
- Prinsip Kepentingan Terbaik bagi Anak (best Interest on the Child).
- Prinsip Hak Hidup, Kelangsungan Hidup, dan Perkembangan (the Right to Life, Survival, and Development).
- Prinsip Penghargaan terhadap Pendapat Anak (Respect for the Views of the Child).
Kewenangan mengesampingkan merupakan bentuk asas oportunitas jaksa agung, berbeda dengan proses acara pidana konvensional yang mana kewenangan penegak hukum dalam melakukan Keadilan Restoratif sangatlah terbatas sepertihalnya diskresi pada Kepolisian tidaklah cukup untuk memberikan kepastian hukum sebuah perkara yang dapat dilanjutkan atau dihentikan, sehingga Penyidik biasanya tetap melanjutkan perkara walau telah terjadi perdamaian antara pelaku dan korban atau korban telah memaafkan sang pelaku.
Diversi untuk mewujudkan Pendekatan Keadilan Restoratif, wajib dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
Diversi merupakan tindakan untuk mewujudkan Pendekatan Keadilan Restoratif, dalam pelaksanaannya wajib dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, pada tingkat penyidikan Kepolisian, tingkat penuntutan Kejaksaan, dan tingkat pemeriksaan Pengadilan Negeri, perkara Anak dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun dan bukan pengulangan pidana wajib untuk Diversi, dengan tujuan :
- Tercapainya perdamaian korban dengan pelaku (anak);
- Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;
- Penyelesaiaan perkara Anak diluar peradilan;
- Mendorong masyarakat berpartisipasi; dan
- Menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap Anak.
Hasil kesepakatan Diversi dapat berbentuk perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian terhadap korban, mengikut sertakan pelaku anak dalam pendidikan atau pelatihan pada lembaga pendidikan pada Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) selama 3 (tiga) bulan, atau pelayanan terhadap masyarakat.
Hasil kesepakatan dituangkan dalam bentuk kesepakatan Diversi untuk selanjutnya disampaikan ke pengadilan negeri (sesuai daerah hukumnya) dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak kesepakatan dicapai guna mendapat penetapan, terhitung selama 3 (tiga) hari sejak diterimanya kesepakatan Diversi, selanjutnya disampaikan kepada Pembimbing Kemasyarakatan, Penuntut Umum, Penyidik, dan Hakim dalam waktu 3 (tiga) hari sejak ditetapkan. Setelah mendapatkan penetapan Diversi dari Pengadilan, selanjutnya menerbitkan Surat Penetapan Penghentian Penyidikan dan Surat Perintah Penghentian Penyidikan, sementara untuk Penuntut Umum membuat surat penetapan penghentian penuntutan.
Secara pribadi penulis sependapat jika dalam setiap penanganan perkara pidana lebih mencerminkan rasa keadilan tanpa mengesampingkan hak korban, karena hakikatnya tujuan utama dalam sebuah proses hukum adalah keadilan. Bukan hanya sebuah keadilan semu dari sebuah kebenaran yuridis.












Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.